Naskah Wangsakerta: Naskah Asli Atau Palsu?
Naskah-naskah Wangsakerta terutama Pustaka Rajya rajya I Bhumi Nusantara dan Pustaka Nagarakretabhumi memang cukup lengkap dalam mengulas Sejarah Sunda, terutama sejarah zaman Pajajaran.
Kitab lainnya yaitu Pustaka Nagarakretabhumi memberi gambaran lebih lengkap dari kitab sebelumnya yaitu Pustaka Rajya rajya I Bhumi Nusantara,
Naskah Nagarakretabhumi
memberi informasi yang lengkap
mengenai apa yang terjadi di masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, terutama
tentang gerakan separatis yang dilakukan Kesultanan Cirebon.
Naskah Nagarakretabhumi juga merekam masa kemelut Kerajaan Pajajaran antara lain saat Surawisesa diserang balatentara Demak-Cirebon karena bekerjasama dengan Portugis yang menjadi musuh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Naskah Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara juga merekam raja-raja Pajajaran setelah pemeritahan Surawisesa hingga masa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran akibat diserang oleh Tentara Banten.
Naskah Wangsakerta merupakan catatan sejarah yang detail tentang Nusantara dan kerajaan-kerajaannya pada masa lalu, di Museum Sri Baduga Bandung ada 49 naskah yang tersimpan, naskah Wangsakerta mengulas pemerintahan raja-raja di Sumatra, Jawa, dan Tatar Sunda. Begitupula tentang penyebaran Agama Islam di Jawa lengkap dengan madzhab yang dianut oleh para penyiarnya.
Sejarawan-sejarawan Sunda seperti DRS.Yoseph Iskandar dan Ayatrohaedi misalnya, menggunakan naskah-naskah Wangsakerta sebagai rujukan utama dalam karya-karya mereka berkait Sejarah Tatar Sunda dan Pajajaran, contohnya saja buku Sejarah Banten yang ditulis oleh DRS. Yoseph Iskandar.
Diantara para ahli yang memperkenalkan naskah Wangsakerta antara lain DRS.Yoseph Iskandar., DR.Ayatrohaedi, dan juga DRS.Saleh Danasasmita dan ini diperkenalkan pada awal tahun 1986 M.
Meski merupakan sumber sejarah yang cukup komplit mengenai Tatar Sunda
dan Pajajaran dan merupakan sumber sekunder yang memuat secara detil tentang Sejarah
Nusantara, perlu bagi kita mengkritisi kebenaran naskah ini yang akan saya bahas
selanjutnya.
Penggunaan naskah ini sebagai sumber sejarah tidak direkomendasikan oleh Sejarawan Nina Herlina Lubis, seorang Ahli Sejarah Sunda, menurut Sejarawan Nina Herlina, untuk mengetahui Sejarah Sunda pada abad ke-16 M, bisa merujuk pada naskah-naskah sezaman yang ditulis pada masa itu, seperti contohnya Carita Parahyangan, Bujangga Manik, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dan Sewaka Darma.
Menurut Sejarawan Nina Lubis, pada 1977 M, Kepala Museum Sri Baduga Bandung membeli naskah-naskah ini dari seorang penduduk Cirebon yang bernama Asikin dan Asikin memberi penjelasan, bahwa naskah-naskah ini ditemukan di berbagai daerah seperti Banten, Kalimantan Timur, Bali, Sumatra Barat, dan lain sebagainya dengan alasan bahwa naskah-naskah ini dibawa orang keluar dari Cirebon karena takut jatuh ke tangan Pemerintah Kolonial.
Mulai 1980-an, muncullah tulisan-tulisan bersambung tentang naskah tersebut, Sejarawan Yoseph Iskandar misalnya, menulis cerita-cerita berdasarkan naskah-naskah itu di majalah, mungkin ini pulalah cikal bakal karya-karya besar beliau seperti Sejarah Banten dan Sejarah Jawa Barat Yuganing Rajakawasa, yang sampai hari ini masih menjadi rujukan utama dalam memahami Sejarah Tatar Sunda, meskipun karya-karya ini kerap mengambil rujukan dari naskah ini yang merupakan sumber sekunder.
Meski merupakan sumber sejarah yang cukup komplit mengenai Tatar Sunda
dan Pajajaran dan merupakan sumber sekunder yang memuat secara detil tentang Sejarah
Nusantara, perlu bagi kita mengkritisi kebenaran naskah ini yang akan saya bahas
selanjutnya.
Penggunaan naskah ini sebagai sumber sejarah tidak direkomendasikan oleh Sejarawan Nina Herlina Lubis, seorang Ahli Sejarah Sunda, menurut Sejarawan Nina Herlina, untuk mengetahui Sejarah Sunda pada abad ke-16 M, bisa merujuk pada naskah-naskah sezaman yang ditulis pada masa itu, seperti contohnya Carita Parahyangan, Bujangga Manik, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dan Sewaka Darma.
Sejarah
Naskah Wangsakerta.
Menurut Sejarawan Nina Lubis, pada 1977 M, Kepala Museum Sri Baduga Bandung membeli naskah-naskah ini dari seorang penduduk Cirebon yang bernama Asikin dan Asikin memberi penjelasan, bahwa naskah-naskah ini ditemukan di berbagai daerah seperti Banten, Kalimantan Timur, Bali, Sumatra Barat, dan lain sebagainya dengan alasan bahwa naskah-naskah ini dibawa orang keluar dari Cirebon karena takut jatuh ke tangan Pemerintah Kolonial.
Mulai 1980-an, muncullah tulisan-tulisan bersambung tentang naskah tersebut, Sejarawan Yoseph Iskandar misalnya, menulis cerita-cerita berdasarkan naskah-naskah itu di majalah, mungkin ini pulalah cikal bakal karya-karya besar beliau seperti Sejarah Banten dan Sejarah Jawa Barat Yuganing Rajakawasa, yang sampai hari ini masih menjadi rujukan utama dalam memahami Sejarah Tatar Sunda, meskipun karya-karya ini kerap mengambil rujukan dari naskah ini yang merupakan sumber sekunder.
Menurut cerita yang beredar, naskah-naskah ini ditulis antara 1677-1698
M oleh tim yang dipimpin Pangeran Wangsakerta, Wangsakerta adalah nama seorang
Pangeran Cirebon yang merupakan putra dari Panembahan Girilaya dan Putri
Amangkurat I. Sejarawan Saleh Danasasmita menduga bahwasannya para anggota panitia
tersebut yang terdiri dari para sejarawan mengumpulkan sumber-sumber autentik
Sejarah Nusantara seperti misalnya Negarakertagama
dan Pararaton serta
beberapa prasasti di Indonesia.
Meski demikian, bagi saya, keterangan tersebut sangat meragukan karena masa itu adalah masa hegemoni VOC dan jelas saja Pulau Jawa dalam kondisi yang sangat tidak aman.
Mengutip dari tulisan Kuncoro Hadi, pada masa itu terjadi pemberontakan Bangsawan Madura Trunajaya yang disebabkan buruknya pemerintahan Susuhunan Mataram, Amangkurat I, Trunajaya merebut Madura dari kekuasaan Mataram pada 1671 M. Pada 1677 M, Armada Belanda dibawah komando Speelman mampu merebut Surabaya dari tangan Trunajaya dan memaksa sang ksatria menyingkir ke Kediri.
Kendati demikian, pada 1677 M, Pasukan pemberontak mengepung Mataram dan membakar beberapa rumah pejabat negara serta membuat Amangkurat I melarikan diri dari Plered.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pengumpulan sumber dari berbagai daerah tidak mungkin dilakukan dalam situasi perang yang berkecamuk seperti ini, terlebih lagi pertempuran tidak hanya berkecamuk di satu tempat saja.
Seandainya langkah sebesar ini betul-betul dilakukan, pertanyaannya adalah apakah kekuatan Cirebon cukup kuat untuk mengawal para sejarawan ini berkeliling ke berbagai penjuru Nusantara untuk menyelesaikan tugas mulia ini?
Karena, mulai 1666 M, Kesultanan Cirebon mulai memasuki masa-masa lemahnya, terutama karena pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mengalami penurunan di daerah-daerah yang dipimpinnya dan juga terjadi perselisihan dengan Susuhunan Mataram, Amangkurat I yang menuduh Cirebon bersekongkol dengan Banten untuk menjatuhkan Kesultanan Mataram. Pada 1667 M, Amangkurat I mengasingkan Panembahan Ratu dan mencaplok sisa-sisa wilayah Cirebon untuk Mataram.
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten berupaya menyelesaikan masalah ini, namun itu terlambat, Kesultanan Cirebon sudah pralaya dan akhinya terpecah-pecah, bahkan diduduki oleh VOC Belanda.
Darisini, bisa diperkirakan betapa lemahnya Kesultanan Cirebon kala itu dan Cirebon tidak memiliki pasukan yang kuat seperti saat masa kejayaannya dibawah pimpinan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati dan menantunya, Fatahillah, dimana pada masa itu kekuatan Cirebon sangat besar hingga berhasil memperluas wilayahnya kesana-sini.
Logisnya, tidak mungkin Pangeran Wangsakerta yang dikenal sebagai orang
yang bijak dan cerdas itu rela membahayakan banyak orang hanya demi kepentingannya,
maka kemungkinan besar musyawarah tersebut tidak pernah terjadi. Karena resiko
yang diakibatkan oleh nya jika musyawarah itu dilaksanakan sangat besar,
mengingat VOC saat itu menduduki Cirebon dan VOC juga sedang berperang melawan
Trunajaya di Jawa Timur yang mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk melawan
VOC dan Amangkurat I, besar kemungkinan VOC akan mengira Cirebon hendak
memberontak jika berkumpul banyak orang disana.
Masalah
Keaslian Naskah Wangsakerta.
Epigraf Boechari meragukan keaslian naskah-naskah tersebut dikarenakan naskah-naskah tersebut antara lain karena naskah-naskah tersebut menggunakan pembagian daerah di Pulau Jawa secara modern antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, hal itu tidak sesuai dengan konstelasi politik abad ke-17 M dimana Pulau Jawa masih terbagi menjadi Kesultanan Mataram, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Cirebon.
Ada juga beberapa bagian yang tidak sesuai dengan sumber primer/prasasti yang ada, contohnya di Prasasti Yupa, Aswawarman adalah anak kandung Kudungga, Raja Kutai, tapi di naskah ini dijelaskan bahwa Aswawarman adalah Putra Dewawarman VIII dari Salakanagara yang kemudian menjadi menantu Kudungga.
Naskah juga ditulis diatas kertas daluang dengan tinta hitam dan penelitian Arsip Nasional Republik Indonesia memperkirakan bahwa umur naskah kira-kira sekitar 100 tahun.
Prof.DR.M.C.Ricklefs yang merupakan salah satu ahli naskah Jawa Kuno juga meragukan keaslian naskah ini . Pembahasan-pembahasan tentang naskah ini juga dilakukan di beberapa universitas antara lain Universitas Siliwangi ddan Universitas Tarumanegara.
Soedjono juga menganggap bahwa teori Nusantara dalam naskah tersebut
terlalu mengikuti arkeologi modern dan teori-teori barat seperti J.G.De Casparis,
antara lain dengan adanya kisah manusia-manusia purba setengah hewan dalam
naskah ini yang dianggap terlalu mirip dengan manusia purba yang ditemukan di
Indonesia seperti Pitecantrophus
Erectus.
Meski menggunakan kalender Saka, akan tetapi penanggalan yang dilakukan
Naskah Wangsakerta ini khususnya dalam bidang arkeologi praaksara sangat
menjiplak arkeologi modern, juga terlalu mengikuti teori Nusantara kuno yang
dikembangkan mulai 1960-an.
Sejarawan Heri Purwanto pun berpendapat, bahwa sejatinya naskah
Wangsakerta , yang dia maksud adalah Pustaka Rajya
rajya I Bhumi Nusantara, ditulis pada abad ke-20 M dan
ditulis oleh sejarawan modern yang memadukan pendapat-pendapat para sejarawan
barat seperti De Casparis, N.J.Kroom dan E.Dubois lalu memadukannya dengan
naskah-naskah tradisional seperti misalkan Pararaton, Nagarakretagama, Carita Parahyangan, serta Babad Tanah
Jawi. Alasan dari pendapat ini,
adalah meski pengarang naskah
Wangsakerta menuliskan bahwa pendiri Majapahit bernama Raden Wijaya, akan tetapi
disana dituliskan bahwa Raden Wijaya adalah seorang Pangeran Sunda yang
mengungsi ke Jawa Timur, hal ini meniru-niru Babad Tanah Jawi, hal ini akan saya bahas
selanjutnya.
Sejarawan Heri Purwanto mengatakan bahwa naskah ini bukan naskah kuno tapi karya sejarah modern yang berbahasa Jawa Kuno, karena jika benar dari abad ke-17 M, maka pada saat itu bahasa yang digunakan bukan lagi Bahasa Jawa Kuno.
Salah satu judul dari naskah-naskah Wangsakerta yaitu Nagarakretabhumi ada di daftar pustaka Purwaka Caruban Nagari, sebuah naskah sejarah dari Cirebon yang diduga bertarikh 1720 M, Namun dikarenakan tidak ditemukannya naskah asli dari naskah ini, maka keaslian Nagarakretabumi dipertanyakan sampai ada naskah asli yang ditemukan dengan judul yang sama.
Maka darisini, perlu kita garisbawahi bahwa sumber apapun yang terkait dengan Wangsakerta, seperti misalnya Nagarakaretabhumi sebaiknya tidak dijadikan sumber sejarah, kecuali hanya sebagai pelengkap dan bukan sumber utama, sampai ditemukan naskah aslinya. Menurut Sejarawan Hanafi Wibowo, naskah Nagarakretabhumi justru dicurigai karena terlalu sempurnanya naskah tersebut.
Purwaka Caruban juga diragukan oleh sejarawan barat seperti Ricklefs.
Akan tetapi naskah ini tergolong komplit dan dapat digunakan untuk sumber sejarah sementara hingga ditemukan sumber lain yang lebih primer dan kuat, hal ini disebabkan naskah Sejarah Sunda seperti Carita Parahyangan yang lebih primer tidak menceritakan kehidupan pribadi sang prabu, terutama anak-anaknya yang memeluk Agama Islam.
Sebaiknya, naskah-naskah Wangsakerta tidak digunakan untuk sumber sejarah karena merupakan sumber yang sangat lemah dan hendaknya, sebagaimana pendapat Sejarawan Nina Lubis, mengacu pada naskah-naskah primer abad ke-16 M untuk menceritakan masa Kerajaan Sunda Pajajaran.
Hal lain yang membuat para sejarawan ragu akan naskah ini adalah kertas nya yang merupakan kertas manila celup. Juga, seperti yang sudah saya sebutkan diatas, kecilnya kemungkinan terjadinya seminar besar yang dipimpin langsung oleh Pangeran Wangsakerta di Cirebon mengingat tidak stabilnya kondisi politik ketika itu.
Menurut Sejarawan Nina Lubis, naskah ini sah untuk kajian filologi
namun tidak untuk refrensi sejarah karena alasan-alasan yang saya sebutkan
tadi, saya berharap suatu hari naskah aslinya dapat ditemukan sehingga naskah
ini dapat digunakan sebagai refrensi sejarah.
Daftar Pustaka:
Ayatrohaedi &Atja: Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4, Sebuah Naskah Sastra Sejarah Karya Kelompok Kerja Dibawah Tanggung Jawab Pangeran Wangsakerta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1991 M,
Sudjana, T.J.: Terjemahan Kitab Negara Kretabhumi karya Pangeran Wangsakerta Cirebon Tahun 1670, Naskah Nagarakretabhumi Dwiya Sarga (Jilid ke satu), Cirebon, 1987,
Festival Gotrasawala Cirebon kupas naskah Wangsakerta (sindonews.com), diakes 13 Januari 2024, Pukul 10: 24 WIB.
Pendiri Kerajaan Cirebon dan
Mengenal Sejarah, Letak, Peninggalannya (gramedia.com), diakses 13 Januari 2024 M, Pukul 13:
41 WIB.
Catatan
Rupa-Rupa: Jaka Sesuruh Bukan Nama Lain Raden Wijaya, diakses 13 Januari 2024 M, Pukul
14: 18 WIB.
Graaf.H.J, dan T.H.Pigeaud: Kerajaan Islam
Pertama Di Jawa, Grafiti Press, 1983 M, hal.126.
Ricklefs, M.C.: Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Penerbit Serambi, 2005 M, hal. 92.
Kontroversi Kebenaran Naskah Wangsakerta: Bukan Buatan Abad Ke-17? - Semua Halaman - National Geographic (grid.id), diakses 13 Januari 2024, Pukul 14:07 WIB.
Post a Comment