Mitos Raksasa Dalam Budaya Nusantara: Konteks Sejarah Dan Pandangan Masyarakat Kala Itu.
Sosok raksasa memang sangat lekat
dalam cerita-cerita rakyat. Baik cerita rakyat dari Suku Jawa, Sunda, dan lain
sebagainya. Raksasa memiliki kaitan yang sangat kuat dengan Mitologi Nusantara.
Dalam artikel kali ini, kita akan membahas beberapa mitos raksasa dalam tradisi
masyarakat dan kaitannya dengan peristiwa historis maupun keadaan masyarakat di masa itu Sebelumnya,
jangan lupa, subscribe website ini supaya kita mendapatkan informasi lebih
lanjut tentang sejarah dan kearifan lokal Nusantara.
1.Raksasa Dalam Mitologi Sunda.
Dalam Carita Pantun Mundinglaya
Dikusumah, dikisahkan bahwa sang ksatria, Munding Laya, harus berhadapan
dengan segerombolan guriang ( raksasa) dalam memperebutkan Pusaka Layang-layang
Kencana. Dikisahkan, pertarungan Munding Laya melawan gerombolan raksasa
tersebut sangat sengit, Sejarawan Mustafa Candiaz menafsirkan bahwa Munding
Laya adalah nama samaran bagi Surawisesa, putra mahkota Sri Baduga Maharaja, Raja Kerajaan Sunda, dalam Catatan Portugis,
juga dijelaskan bahwasannya Surawisesa atau yang disebut Samiam oleh Orang
Portugis ditugaskan ayahnya , Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jaya Dewata untuk
menemui Portugis di Malaka pada 1512 M, yang tujuannya adalah kerjasama
menghadapi serangan Muslim dari Demak dan Cirebon, yang mana tanda kerjasama
tersebut adalah sebuah batu prasasti yang diberikan oleh Portugis, yang disebut
dengan nama Padrao. Mungkin, jika dikaitkan dengan Pantun Munding
Laya Dikusumah tadi, Demak dan Cirebon dipadang Orang Sunda sebagai
raksasa-raksasa yang mengganggu kerajaan mereka. Layang-layang Kencana yang ada
dalam Pantun Munding Laya Dikusumah tersebut, bisa diartikan sebagai Padrao
yang menjadi simbol perjanjian Kerajaan Sunda dan Portugis.
Itu artinya Orang Sunda pada masa
itu, memandang bahwasannya raksasa adalah simbol dari musuh-musuh yang
menyerang bangsa mereka.
Dalam Sastra Sunda, dikenal pula Wawacan
Batara Rama, yang mengisahkan perjuangan Rama dalam melawan raksasa-raksasa
jahat dari Alengka. Sama seperti di
Pantun Mundinglaya, Wawacan Batara Rama juga menempatkan raksasa di posisi
sebagai antagonis.
2.Raksasa Dalam Budaya Jawa Kuno.
Dalam Budaya Jawa Kuno, salah satu
karya yang merekam adanya raksasa adalah Kakawin Arjuna Wiwaha yang
ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa Maharaja Airlangga pada abad ke 11 M, naskah
ini menceritakan perjuangan Arjuna untuk mendapatkan calon istrinya, Dewi
Suphraba, dimana Arjuna harus berhadapan dengan Raksasa Niwatakawaca.
Dikisahkan, Arjuna berhasil membunuh Niwatakawaca dengan panah saktinya. Saya
menyimpulkan, dari Kakawin Arjunawiwaha ini, terlihat bahwasannya
Masyarakat Jawa Kuno memandang raksasa sebagai hambatan besar dalam mencapai
impian, yang harus diatasi dengan kekuatan.
3. Akar Mitos Raksasa Dalam Budaya
Nusantara.
Menurut Peneliti Hartatik,
mitos-mitos mulai berkembang di Nusantara sejak menetapnya Bangsa Austronesia.
Bangsa Austronesia mulai memasuki Nusantara sejak 4000-3000 SM. Mereka terbiasa
memanjatkan doa pada penguasa gaib, yang artinya, pada masa itu, mitologi sudah
dikenal oleh Masyarakat Nusantara.
Mitos-mitos India, kemungkinan besar
masuk bersamaan dengan masuknya Orang India ke Nusantara, yang memulai Masa
Hindu Budha. Menurut Sejarawan Bernard H.M.Vlekke, masuknya Budaya India ke
Indonesia dibawa oleh para brahmana India yang datang ke Nusantara, hal ini
terbukti jelas dengan kuatnya pengaruh Mitologi India dalam karya sastra Jawa
dan Sunda. Tokoh Arjuna, misalnya, jelas diadopsi dari Mitologi India,
begitupula Rama dan sebagainya.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya
relief Rahwana dalam Candi Prambanan.
Relief pada candi Prambanan menampilkan kisah Ramayana secara lengkap.
Dari awal kisah hingga kematian Rahwana, raksasa terbesar dari Alengka yang
menjadi musuh bebuyutan Rama.
4.Kesimpulan.
Nah, dari beberapa penjelasan diatas,
kita mengetahui, bahwa Masyarakat Nusantara Kuno memandang raksasa sebagai
simbol rintangan hidup yang harus dihadapi, mulai dari Budaya Sunda hingga
Jawa, hampir semuanya menampilkan kisah ksatria yang bertarung dengan raksasa.
Darisini, bisa kita ambil pelajaran, bahwasannya, rintangan hidup dan cobaan
haruslah dihadapi dengan penuh keberanian dan strategi yang matang. Hidup
memang tidak selalu sempurna, tetapi anda akan mencapai keberhasilan bila lolos
dalam ujian menghadapi rintangan-rintangan kehidupan.
Refrensi:
Martanagara, R.A.A: Wawacan Batara Rama, Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, 1979 M.
Kanwa, Mpu, diterjemahkan oleh Pane,
Sanusi: Arjuna Wiwaha, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1978 M.
Vlekke, Bernard.H.M: Nusantara
Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 M.
De Castro, Joaquim Magelhaens: Lautan
Rempah Peninggalan Portugis Di Nusantara, Penerbit Elex Media Komputindo,
2019 M.
Istari, R. (2003). Kesenian
Wayang Pada Masa Klasik Di Jawa. Berkala Arkeologi, 23(2), 51–60. https://doi.org/10.30883/jba.v23i2.875.
Hartatik: Religi Kaharingan
Sebagai Jejak Austronesia Pada Orang Dayak, Prosiding Seminar Arkeologi
2019 M.
Setiawan Kusuma, T.A.B.N, dan Damai,
Andry Hikari: Perkembangan Kebudayaan Austronesia Di Kawasan Asia Tenggara
Dan Sekitarnya, Jurnal Natidira Widya Vol.13, No.2, 2019 M.
Suyono, Seno Joko: Perbandingan Sosok
Rahwana Prambanan Dengan Kakawin Ramayana Dan Novel Anand Neelakantan, Jurnal
Dharmasmrti, Vol.21, No.1, April, 2021 M.
Ahmadun, Herfanda, Y., dan Murniah,
Dad: Mundinglaya Dikusumah, Departemen Pendidikan Nasional, 2009 M.
Post a Comment