Meluruskan Mitos Siliwangi Dan Harimau Putih.
Mitos ini
seringkali diyakini sebagai kebenaran sejarah, bahwa Siliwangi berubah menjadi
harimau putih atau memiliki khodam seekor harimau putih. Padahal, sebetulnya
Kerajaan Pajajaran samasekali tidak memiliki kepercayaan terhadap harimau
putih.
Cerita
legenda seperti Wawacan Perbu Kean Santang, misalnya, menggambarkan
bahwa Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau ketika hendak diislamkan anaknya,
Kian Santang, Naskah Suwasit menggambarkan bahwa Prabu Siliwangi memiliki
khodam seekor harimau putih supranatural
yang membantunya mengalahkan Pasukan Mongol.
Kenyataannya,
mitos harimau putih samasekali tidak terdapat dalam literatur-literatur awal
yang membahas masa Prabu Siliwangi, yang diidentifikasi para ahli sebagai Sri
Baduga Maharaja/ Prabu Jayadewata.
Naskah Carita
Parahyangan misalnya, samasekali
tidak menyinggung adanya kaitan antara tokoh ini dengan harimau, bahkan sumber
sekunder yang diakui oleh para sejarawan pun, Carita Purwaka Caruban Nagari samasekali
tidak menyinggung kaitan tokoh Prabu Siliwangi dengan harimau putih ghaib ini.
Carita Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada 1720 M,
sehingga masuk kategori sumber sekunder, meski isinya cukup valid, kronik ini
mengisahkan Sejarah Kerajaan Cirebon dari masa Prabu Siliwangi hingga masa
penjajahan Belanda. Pada bagian Prabu Siliwangi, hanya dituliskan bahwa Prabu
Siliwangi adalah putera Prabu Anggalarang ( identik dengan Prabu Dewa Niskala
dalam Prasasti Batutulis) yang memerintah di Galuh dan Prabu Siliwangi menjadi
maharaja di Pakuan Pajajaran. Beliau bernama asli Raden Manah Rasa dan dari
pernikahannya dengan Nyai Subang Larang yang diduga kuat sudah masuk Islam,
beliau memperoleh 3 orang anak yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang,
dan Rajasangara ( nama terakhir diduga kuat adalah sosok yang sama dengan Kian
Santang dalam Tradisi Sunda)
Semua anak
itu menganut Agama Islam, namun dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, samasekali tidak mengisahkan bahwa sang prabu
berubah menjadi harimau karena tidak mau masuk Islam. Dikisahkan bahwa Prabu
Siliwangi wafat secara normal dan kewafatannya ditangisi oleh rakyatnya, Naskah
Carita Parahyangan mencatat
bahwasannya Jayadewata memerintah Kerajaan Sunda selama 39 tahun dan dimakamkan
di Rancamaya, uraian ini selaras dengan sumber sekunder Carita Purwaka
Caruban Nagari, dalam Catatan Portugis, disebutkan bahwa Jayadewata
mengirim putranya, Samiam ( dalam Carita
Parahyangan disebut Surawisesa)
berlayar ke Malaka untuk meminta bantuan Orang-orang Portugis untuk menghadapi
Kesultanan Demak.
Pertanyaannya, di Naskah Wawacan Perbu Kean Santang dijelaskan bahwa sang prabu berubah menjadi harimau dan kerajaannya menjadi hutan, ini jelas bertentangan dengan sumber primer yaitu laporan Utusan Portugis yang menyatakan bahwa pada 1522 M, Kerajaan Sunda masih berdiri tegak dibawah pimpinan Samiam / Surawisesa dengan ibukota di Dayo/Pakuan ( kini Bogor), Mungkinkah Utusan Portugis datang kesana jika kratonnya telah berubah menjadi hutan secara “magis”.
Salah satu
Naskah Wangsit Siliwangi menceritakan bahwa Siliwangi berubah menjadi
harimau, akan tetapi naskah ini masuk ke dalam kategori mitos, begitupula
naskah-naskah lain tentang hubungan sang prabu dan sosok harimau gaib.
Naskah Suwasit Dan Masalahnya.
Naskah Suwasit
seringkali dianggap sumber primer
tentang hubungan Prabu Siliwangi dan harimau putih, padahal keaslian naskah ini
sangat “meragukan”, bahkan terkesan mengada-ada.
Di Museum
Sukabumi, terdapat Naskah Suwasit yang memuat kisah hubungan dekat Siliwangi
dengan harimau, yang menurut pengurus museum berasal dari abad ke-16 M. Namun
ada beberapa kejanggalan yang menunjukkan bahwa naskah itu tidak mungkin
berasal dari abad ke-16 M.
Antara lain
mitos harimau putih, mitos harimau putih, menurut Pakar Sundanologi Ary Whisnu, tidak berasal dari kebudayaan
Sunda Kuno, terutama Zaman Pajajaran, manuskrip-manuskrip dari zaman Pajajaran
seperti Carita Parahyangan dan Siksa
Kandang Karesian samasekali tidak menyinggung
hal tersebut.
Menurut
Pakar Sundanologi Ary Whisnu, Mitos Harimau Putih baru muncul saat era penelitian
kembali Ibukota Pajajaran oleh Belanda, menurut laporan VOC, penelitian oleh
Pihak Belanda, terutama yang dilakukan oleh Scipio, terjadi pada abad ke-17 M,
tepatnya pada 1687 M, jauh setelah runtuhnya Pajajaran.
Scipio
berhasil menemukan sisa-sisa reruntuhan Istana Pakuan Pajajaran, menurut Pakar
Sundanologi Ary Whisnu, saat itu Scipio menemukan beberapa harimau disana,
Scipio sendiri melaporkan, bahwasannya anggotanya diterkam harimau saat sedang
meneliti situs tersebut.
Bisa
diperkirakan pada masa itu sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Pajajaran
mulai terkubur, sehingga muncullah mitos-mitos harimau. Memang, waktu itu,
belum banyak ditemukan tinggalan arkeologis yang berkaitan dengan Kerajaan
Pajajaran dan Kerajaan Pajajaran pun sudah lama runtuh. Menurut Carita Parahyangan,
keruntuhan ini terjadi akibat serangan Demak dan Cirebon.
Kedua,
struktur bahasa dan aksara dalam naskah tersebut serta jenis kertasnya, Pakar
Sundanologi Ary Whisnu mengidentifikasi, bahwa naskah tersebut adalah buatan
baru, karena Aksara Sunda dalam naskah tersebut adalah aksara palsu dan menurut
Pakar Sundanologi Ary Whisnu, kertas yang digunakan adalah kertas daur ulang
modern.
Mungkin ada
yang berpendapat, ah, mungkin itu naskah salinan, naskah aslinya mungkin sudah
rusak. Pakar Sundanologi Ary Whisnu mengidentifikasi, Aksara Sunda dalam Kitab Suwasit
terkesan asal-asalan dan tidak
membentuk kalimat, mana mungkin suatu naskah otentik seperti ini?
Intinya,
Naskah Suwasit tidak bisa
dijadikan sumber untuk Sejarah Pajajaran, perkiraan Pakar Sundanologi Ary
Whisnu, besar kemungkinan naskah ini ditulis pada abad ke-20 M.
Dengan
demikian, mitos mitos yang mengaitkan Pajajaran dan Prabu Siliwangi dengan harimau
putih tidak bisa dipercaya, karena mitos-mitos tersebut muncul ketika Pajajaran
sudah lama sirna, sehingga validitasnya sangat meragukan dan tidak bisa
dibuktikan secara historis.
Refrensi:
Falah, W.Anwar: Pola Pergantian Dan Tipe Kepemimpinan Raja Di Kerajaan Sunda
( Suatu Telaah Pendahuluan), Berkala Arkeologi Edisi Khusus 1994 M.
Atja: Carita
Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah,
Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986 M.
De Castro, Joaquim
De Magelhaens: Lautan Rempah Peninggalan Portugis Di Nusantara, Penerbit
Elex Media Komputindo, 2019 M.
Marzuki,
Surlina, Suyana, H.R, dan Maria, Siti: Wawacan Perbu Kean Santang ,
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1992 M.
Budimansyah,
Falah, Miftahul dan Junaedi, Anggi.A: Melihat Kota Pakwan Pajajaran Melalui
Kerangka Lewis Mumford, Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan
Indonesia ( PLBI), Universitas Mataram, Universitas Warmadewa, 2022 M.
Gustaman,
Budi dan Khoeruman, Hilman Fauzia: Antara Mitos Dan Realitas: Historistas
Maung Di Tatar Sunda, Jurnal Metahumaniora, No.1, April, 2019 M, Volume 9.
Jejak
Istana Pajajaran, Berkabut dan Dijaga Sejumlah Harimau, Prabu Siliwangi
Nga-Hyang jadi Maung? (disway.id), diakses 24 Februari 2024 , Pukul 22: 22 WIB.
Pakar
Sundanologi dan Filolog Ary Whisnu Pratama.
Post a Comment